Sabtu, 16 Agustus 2008

Wira Malang Itu Terlupakan

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Slogan itu yang selalu berkumandang dari tahun ke tahun ketika bangsa ini merayakan hari kemerdekaan. Pertanyaannya sekarang, masihkah esensi slogan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh generasi penikmat hasil perjuangan pahlawan?


Semarak merayakan momen kemerdekaan 17 Agustus begitu terasa di seluruh tanah air. Tak terkecuali di Malang. Sampai di pelosok-pelosok kampung, warga sibuk memasang bendera Merah Putih di depan rumah dan pinggir jalan. Hiasan-hiasan bernuansa sang Dwi Warna juga bertebaran di mana-mana.

Semua melukiskan betapa warga bersemangat merayakan ulang tahun kemerdekaan. Mereka tak ingin melewatkan momen heroik itu tanpa kegiatan apa-apa. Makanya, selain memasang bendera dan segala pernik-pernik bernuansa Merah Putih, banyak kegiatan yang dilakukan untuk menyemarakkan momen tersebut.

Namun sayang, di tengah meriahnya momen kemerdekaan itu, beberapa monumen yang melambangkan peristiwa sejarah perjuangan bangsa di Malang terlupakan. Dari sekian monumen yang berdiri di Malang, beberapa tidak terawat. Padahal, monument itu punya makna penting dalam perjalanan sejarah perjuangan di Malang.

Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Malang I Gusti Made Oka mengatakan, setidaknya ada sembilan monumen bersejarah yang dia inventarisasi. Di antaranya patung Mayor Hamid Roesdi di Jl Panggung (Simpang Balapan), Monumen Perjuangan Mayor Hamid Roesdi di Kelurahan Wonokoyo, Monumen Panglima Sudirman di Jl Panglima Sudirman. Kemudian, Monumen TGP (Tentara Geni Pelajar) Jl Semeru, Monumen Pahlawan TRIP Jl Pahlawan TRIP, Monumen Sarangan Atas di Jl Sarangan Atas, Monumen Sumur Maut di SDN Madyopuro I, Monumen BP KNIP di depan pertokoan Sarinah. Terakhir relief perjungan melawan penjajah di gedung Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Jl Semeru (sekarang gedung Universitas Satya Wacana).

Dari sembilan monumen bersejarah itu, menurut Oka, pada 2006 lalu, kondisinya masih bagus. Sekarang, kondisi bagus dia pastikan hanya ada pada monumen yang terletak di kawasan tengah kota. "Jika monumen yang ada di daerah pinggiran, saya tidak tahu. Tapi 2006 lalu, kondisi monumen itu bagus karena saya ambil fotonya satu per satu," ungkapnya saat ditemui kemarin pagi di ruang kerjanya.

Terawatnya kondisi monumen di tengah kota bisa dimaklumi karena kesehariannya dilihat banyak orang. Acap kali monumen itu menjadi ikon satu wilayah. Misalnya, Jl Pahlawan TRIP identik dengan makam pahlawan TRIP. Demikian juga Jl Panglima Sudirman, identik dengan Monumen Panglima Sudirman naik kuda. Pemerintah Kota Malang melalui dinas terkait secara otomatis rajin merawatnya.

Bagaimana halnya kondisi monumen di kawasan pinggiran Kota Malang? Radar menemukan salah satu monumen di kawasan pinggiran yang tidak terjaga kebersihan atau kesakralannya. Simak saja kondisi Monumen Perjuangan Mayor Hamid Roesdi yang ada di trabasan Jl Kalisari, Kelurahan Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang. Monumen yang dibangun untuk mengenang peristiwa gugurnya Mayor Hamid Roesdi beserta empat anak buahnya pada 8 Maret 1949 itu tak terawat.

Warna hijau tua pada monumen berbentuk tugu ini tak lagi cerah. Demikian pula dasaran tugu berbentuk bujur sangkar warna hitam, tak lagi terawat. Banyak permukaan tubuh monumen yang rusak akibat benturan benda keras. Maklum saja, monumen itu tak berpagar. Karena itu, orang bisa saja dengan mudah "melukai" monumen yang sarat makna sejarah melawan penjajah itu. Misalnya, orang bisa saja duduk di dasaran monumen dan bersandar pada batang tugu yang terdapat relief penyergapan Hamid Roesdi beserta anak buahnya. Akibatnya, sedikit demi sedikit warna dan bentuk monumen berubah.

Tidak hanya itu. Tetak monumen yang ada di tepi areal persawahan ini membuat banyak orang menjadikannya sebagai tempat beristirahat, baik itu petani atau pencari rumput. Demikian juga masyarakat yang bermukim di sekitar monumen itu, memanfaatkan untuk menjemur nasi basi menjadi karak. Kondisi makin diperparah ketika musim kemarau, debu serta kotoran sampah tanaman tebu memenuhi sekitar monumen.

Untuk menuju langsung ke lokasi Monumen Perjuangan Hamid Roesdi tidaklah mudah. Pengunjung harus melalui jalan setapak yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Selain itu, melalui jembatan semipermanen yang kondisinya sudah tak lagi aman untuk dilintasi.

Informasi dari kantor LVRI Kota Malang, monumen itu didirikan karena di lokasi tersebut Hamid Roesdi disergap Belanda. Selain Hamid Roesdi, ada Letnan Ismail Effendy, Abdul Razak, Moesmari, dan Joenoes yang ikut disergap. Mereka tertangkap karena ada mata-mata yang membocorkan bahwa pasukan Hamid Roesdi bersembunyi di Wonokoyo. Di titik monumen itulah, Hamid Roesdi dan pasukannya ditembaki.

Sangat disayangkan bila Monumen Perjuangan Hamid Roesdi tak lagi terawat dan berubah fungsi menjadi tempat jemuran. Betapa tidak, kala semangat perjuangan Hamid Roesdi -yang disebut-sebut wira dari Malang itu- tetap digelorakan dengan menggelar gerak jalan Malang-Turen setiap tahun, justru peristiwa yang dilambangkan dengan monument mulai dilupakan orang.

Monumen lain dengan kondisi agak lebih terawat terlihat di Monumen Sumur Maut di lokasi SDN I Madyopuro. Sumur maut itu berada di belakang sekolah dan dihiasi bendera pejuang. Di prasasti ditulis di dalam sumur maut itu ada sekitar 11 pejuang yang mati dan jasadnya dimasukkan di sumur berdiameter sekitar 1,5 meter tersebut. Empat di antaraya diketahui identitasnya, yakni Dulmanan, Samaun, Poniman, dan Suwandi.

Selain di sumur, monumen di halaman sekolah juga didirikan. Di halaman ini, ditemukan sekitar sepuluh pejuang yang jasadnya terkapar bersimbah darah terkena berondongan peluru. Informasi yang diperoleh, gedung sekolah itu dulunya adalah tempat persembunyian pejuang. Begitu diketahui, Belanda langsung masuk dan menghabisi semua pejuang yang ada di dalam gedung itu.

Meski kondisi monumen di pusat kota terbilang cukup terawatt, masih saja ada orang yang belum bisa menghormati kesakralannya dan terkesan menyepelekan. Contohnya siang kemarin di lokasi Monumen Panglima Sudirman. Taman sekitar monumen dijadikan oleh sebagian tukang becak dan pemulung untuk menjemur pakaian.

Petugas Dinas Pertamanan Kota Malang yang ditemui mengaku sudah berkali-kali melarang, namun tak digubris. "Jika dilarang, malam harinya tanaman kami di sekitar monumen malah dirusak. Jadi, kami tidak bisa berbuat apa-apa," kata salah satu pekerja Dinas Pertamanan. (mas/yn)
sumber : www.jawapos.com

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger
peluang usaha
Visit this site.